Oleh: *Ade Muksin, SH.
Ketua PWI Bekasi Raya
Jms || Kota Bekasi
Pemerintah Kabupaten Bekasi tengah merencanakan pembongkaran rumah-rumah warga di bantaran sungai Desa Karang Satria. Langkah yang tidak hanya tergesa-gesa, tetapi juga berpotensi melukai rasa keadilan sosial yang dijamin oleh konstitusi dan nilai luhur Pancasila, khususnya Sila Kedua: Kemanusiaan yang Adil dan Beradab.
Warga menolak rencana pembongkaran tersebut. Bukan karena warga tersebut antiperubahan atau abai terhadap kebutuhan tata ruang, tetapi karena tindakan ini minim empati dan terkesan abai terhadap konteks historis, legal-sosial, dan tanggung jawab negara terhadap warganya.
Fakta menunjukkan bahwa warga yang tinggal di wilayah tersebut bukanlah pendatang baru atau penghuni liar tanpa jejak. Mereka telah menetap selama kurang lebih 30 tahun—suatu periode panjang yang membentuk legitimasi sosial dan historis atas keberadaan mereka. Rumah-rumah mereka memiliki nomor resmi dari pemerintah setempat, dan layanan publik seperti listrik dari PLN serta jaringan Telkom tersedia dan aktif—semua dengan sistem pembayaran resmi.
Ini menunjukkan satu hal penting: negara hadir, mencatat, dan melayani. Maka pertanyaannya, bagaimana mungkin pemerintah daerah kini menyebut mereka ilegal atau “liar”?
Lebih dari itu, lahan yang mereka tempati bukan aset milik Pemerintah Kabupaten Bekasi, melainkan milik Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Beberapa warga bahkan memiliki Surat Izin Pemanfaatan Lahan Sementara (SIPLS) dari kementerian tersebut. Bila alasan pembongkaran adalah demi normalisasi sungai, maka tanggung jawab itu ada di pundak kementerian, bukan di tangan Pemkab Bekasi.
Jangan jadikan hukum sebagai alat kekuasaan semata. Definisi “bangunan liar” perlu dikaji dengan hati-hati dan manusiawi. Sebab dalam banyak kasus, istilah itu terlalu mudah disematkan tanpa mempertimbangkan bahwa warga telah bertahun-tahun hidup secara tertib, membayar listrik, dan tidak merusak lingkungan.
Karena itu, warga tengah mempertimbangkan langkah hukum untuk mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Ini bukan hanya demi warga Karang Satria, tetapi demi prinsip: bahwa negara harus hadir secara adil, berpihak pada kemanusiaan, dan tidak memutus sejarah sosial warganya secara sepihak.
Bekasi sedang diuji: apakah pembangunan akan berjalan dengan menginjak hak rakyat kecil, ataukah bisa dilaksanakan secara bermartabat, dengan dialog, keadilan, dan semangat gotong royong? ( Red )