JMS KOTA BEKASI
Julukan *“Raja Bongkar”* yang disampaikan oleh Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, kepada Bupati Bekasi, Ade Kuswara Kunang, dalam konteks penertiban bangunan liar tanpa kompensasi, mengundang refleksi kritis dari kami, insan pers.
Sebagai Ketua PWI Bekasi Raya, saya menilai bahwa keberanian dan ketegasan kepala daerah dalam menegakkan aturan memang perlu diapresiasi. Namun demikian, *ketegasan tidak boleh menanggalkan rasa keadilan sosial dan kemanusiaan.*
Bangunan bisa dianggap liar, tetapi tidak semua yang mendiaminya adalah pelanggar. Ada masyarakat kecil yang menggantungkan hidup dari warung sederhana atau tempat usaha kecil-kecilan. Jika aturan ditegakkan tanpa solusi kemanusiaan, maka ketegasan itu bisa berubah menjadi ketegaan.
Dalam prinsip jurnalisme, kami dituntut untuk menjadi suara bagi yang tak bersuara. Maka kami bertanya: *apakah Bupati Bekasi layak dijuluki Raja Bongkar, atau sebenarnya Raja Tega?* Julukan itu bisa menjadi kebanggaan, namun juga bisa menjadi kritik tajam dari sejarah dan nurani publik.
Kami juga mendukung langkah Gubernur yang mendorong evaluasi tata ruang di Kabupaten Bekasi. Namun, perubahan tata ruang tidak boleh menyingkirkan warga kelas bawah dari ruang hidupnya. Pemerintah daerah harus menjadi fasilitator, bukan sekadar regulator.
Pers akan terus mengawasi, mencatat, dan menyuarakan suara rakyat. Dan dalam hal ini, kami menyerukan kepada Pemerintah Kabupaten Bekasi untuk *menyeimbangkan keberanian dengan empati, aturan dengan solusi, dan ketegasan dengan keadilan sosial.* ( Dapot Tambunan )